Jakarta, Para pakar memperingatkan bahwa rencana transisi energi Australia yang mengandalkan tenaga nuklir dapat menyebabkan tambahan emisi karbon dioksida (CO2) lebih dari 1,7 miliar ton hingga tahun 2050. Rencana ini dinilai memperlambat pengembangan energi terbarukan dan meningkatkan ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam beberapa dekade ke depan.
Dampak Emisi dari Rencana Nuklir
Dalam laporan yang dirilis oleh oposisi pekan lalu, model transisi energi dari “batu bara ke nuklir” disebut-sebut akan menghambat implementasi energi terbarukan. Sebagai gantinya, Australia akan tetap mengoperasikan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil lebih lama hingga infrastruktur tenaga nuklir berkembang secara penuh, yang diperkirakan baru dapat terealisasi setelah tahun 2040.
Dylan McConnell, seorang pakar sistem energi dari University of New South Wales, menyatakan bahwa kebijakan ini dapat menyebabkan lebih dari 1 miliar ton CO2 masuk ke atmosfer pada tahun 2051. Sementara itu, ekonom Steven Hamilton dalam analisisnya yang dipublikasikan di Australian Financial Review menyebutkan bahwa emisi kumulatif dari jaringan listrik Australia bisa mencapai lebih dari 1,6 miliar ton antara tahun 2025 hingga 2051.
Di sisi lain, kebijakan Partai Buruh yang lebih proaktif dalam mengadopsi energi terbarukan, termasuk penggunaan baterai, pembangkit hidro yang dipompa, jaringan transmisi efisien, dan pembangkit listrik tenaga gas “fast start,” diperkirakan hanya akan menghasilkan sekitar 600 juta ton CO2 dalam periode yang sama. Ini berarti bahwa pendekatan berbasis nuklir akan meningkatkan emisi hingga tiga kali lipat dibandingkan transisi langsung ke energi terbarukan.
Konsekuensi Lingkungan dan Transisi Energi
Para ahli juga menyoroti bahwa rencana Koalisi berisiko memperlambat elektrifikasi industri dan transportasi. Dengan lebih sedikit kendaraan listrik di jalan, masa pakai kendaraan berbahan bakar bensin yang lebih lama, serta penggunaan bahan bakar fosil yang lebih tinggi oleh rumah tangga dan industri, total emisi dari sektor-sektor ini akan meningkat tajam.
Simon Holmes à Court, direktur The Superpower Institute dan penyelenggara Climate 200, memperkirakan bahwa kebijakan transisi berbasis nuklir ini akan menghasilkan tambahan 723 juta ton CO2 dari sektor transportasi dan industri, di luar 1 miliar ton dari jaringan listrik. Jika dihitung secara keseluruhan, total emisi tambahan sebesar 1,7 miliar ton setara dengan emisi empat tahun penuh Australia dalam rentang 25 tahun ke depan.
Dengan adanya peringatan ini, transisi energi Australia ke arah tenaga nuklir harus dikaji lebih lanjut untuk memastikan bahwa langkah tersebut tidak justru memperburuk krisis iklim global. Memprioritaskan energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan akan menjadi solusi yang lebih efektif dalam menekan emisi CO2 dan mencapai target netral karbon di masa depan.
Keputusan antara energi nuklir dan energi terbarukan akan menjadi titik krusial dalam kebijakan lingkungan Australia dan menentukan arah masa depan keberlanjutan global.