Jakarta, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan kemungkinan penerapan hukuman mati terhadap tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina periode 2018-2023. Pernyataan ini muncul mengingat tindakan pidana tersebut terjadi saat Indonesia tengah dilanda pandemi Covid-19, yang berpotensi memperberat hukuman.
Korupsi di Tengah Bencana
Burhanuddin menegaskan bahwa tindakan korupsi di tengah situasi bencana alam, termasuk pandemi, menjadi faktor pemberat dalam penentuan tuntutan pidana. Menurutnya, keadaan darurat seperti pandemi seharusnya menjadi momen bagi semua pihak untuk bersatu membantu negara, bukan malah memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi.
“Apakah ada hal-hal yang memberatkan dalam situasi Covid-19? Dia melakukan perbuatan itu dan tentunya ancaman hukumannya akan lebih berat,” ujar Burhanuddin dalam konferensi pers, Kamis (6/3).
Ia menambahkan bahwa meskipun opsi hukuman mati terbuka, keputusan final terkait besaran tuntutan hukum masih menunggu hasil akhir dari proses penyidikan yang tengah berlangsung. “Bahkan dalam kondisi yang demikian bisa-bisa hukuman mati. Tapi kita akan lihat dulu bagaimana hasil penyelidikan ini,” imbuhnya.
Sembilan Tersangka dan Kerugian Triliunan Rupiah
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka, terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satu nama yang mencuat adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Kejaksaan mengungkapkan bahwa kasus ini mengakibatkan kerugian negara yang mencapai Rp193,7 triliun. Rincian kerugian tersebut meliputi:
- Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri: Rp35 triliun
- Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker: Rp2,7 triliun
- Kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker: Rp9 triliun
- Kerugian pemberian kompensasi tahun 2023: Rp126 triliun
- Kerugian pemberian subsidi tahun 2023: Rp21 triliun
Jaminan Kualitas BBM oleh Pertamina
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, memastikan bahwa produk bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang saat ini beredar di masyarakat sudah memenuhi standar spesifikasi teknis. Ia menanggapi keresahan publik yang muncul setelah terbongkarnya kasus dugaan korupsi ini.
Simon mengakui bahwa dirinya menerima berbagai keluhan masyarakat melalui pesan singkat, yang mempertanyakan kualitas BBM di SPBU Pertamina. Namun, ia menegaskan bahwa seluruh proses tata kelola pelayanan di Pertamina telah sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.
“Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir, tidak perlu cemas bahwa produk yang berada di SPBU Pertamina sudah sesuai dengan standar spesifikasi teknis,” kata Simon dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta.
Mengutamakan Transparansi dan Integritas
Pernyataan Jaksa Agung dan Direktur Utama Pertamina ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menindak tegas kasus korupsi, terutama yang terjadi di tengah situasi krisis nasional. Langkah-langkah investigasi yang transparan dan penerapan hukum yang tegas diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya negara.
Ke depan, publik akan terus mengawasi jalannya proses hukum kasus ini. Integritas penegak hukum dan keterbukaan informasi menjadi kunci untuk memastikan keadilan benar-benar ditegakkan.